Senin, September 15, 2008

KISAH DI MUSIM DINGIN


Siu Lan, seorang janda miskin memiliki seorang putri kecil berumur 7 tahun,Lie Mei. Kemiskinan memaksanya untuk membuat sendiri kue-kue dan menjajakannya di pasar untuk biaya hidup berdua. Hidup penuh kekuranganmembuat Lie Mei tidak pernah bermanja-manja pada ibunya, seperti anak kecil lain.

Suatu ketika dimusim dingin, saat selesai membuat kue, Siu Lan melihat keranjang penjaja kuenya sudah rusak berat. Dia berpesan agar Lie Meimenunggu di rumah karena dia akan membeli keranjang kue yang baru.

Pulang dari membeli keranjang kue, Siu Lan menemukan pintu rumah tidak terkunci dan Lie Mei tidak ada di rumah..

Marahlah Siu Lan. Putrinya benar-benar tidak tahu diri, sudah hidup susah masih juga pergi bermain dengan teman-temannya. Lie Mei tidak menunggu rumah seperti pesannya. Siu Lan menyusun kue kedalam keranjang, dan pergi keluar rumah untuk menjajakannya.

Dinginnya salju yang memenuhi jalan tidak menyurutkan niatnya untuk menjual kue.

Bagaimana lagi? Mereka harus dapat uang untuk makan.

Sebagai hukuman bagi Lie Mei, putrinya, pintu rumah dikunci Siu Lan dari luar agar Lie Mei tidak bisa pulang. Putri kecil itu harus diberi pelajaran, pikirnya geram.

Lie Mei sudah berani kurang ajar. Sepulang menjajakan kue, Siu Lan menemukan Lie Mei, gadis kecil itu tergeletak di depan pintu. Siu Lan berlari memeluk Lie Mei yang membeku dan sudah tidak bernyawa. Siu Lan berteriak membelah kebekuan salju dan menangis meraung-raung, tapi Lie Mei tetap tidak bergerak. Dengan segera, Siu Lan membopong Lie Mei masuk ke rumah.

Siu Lan menggoncang- goncangkan tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan nama Lie Mei.. Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan kecil dari tangan Lie Mei. Siu Lan mengambil bungkusan kecil itu, dia membukanya. Isinya sebungkus kecil biskuit yang dibungkus kertas usang.

Siu Lan mengenali tulisan pada kertas usang itu adalah tulisan Lie Mei yang masih berantakan namun tetap terbaca,"Hmmm... Mama pasti lupa. Ini hari istimewa buat mama. Aku membelikan biskuit kecil ini untuk hadiah. Uangku tidak cukup untuk membeli biskuit ukuran besar.. Mama selamat ulang tahun."

KURMA PENJEGEL DOA


Seusai ibadah haji, Ibrahim bin Adam membeli satu kilogram kurma dari pedagang tua di dekat masjidil Haram. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, ia melihat sebutir kurma tergeletak di dekat timbangan. Ia menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli.

Ibrahim pun memungut kurma itu dan memakannya.
Empat bulan kemudian, Ibrahim tiba di al-Aqsa. Seperti biasa, ia kemudian shalat dan berdoa khusuk sekali di bawah kubah Sakhsa. Namun, betapa terkejutnya, tatkala tiba-tiba ia mendengar percakapan dua malaikat tentang dirinya.

Salah satu malaikat itu berkata, ”Doa Ibrahim bin Adam ditolak karena, empat bulan lalu, ia memakan sebutir kurma yang bukan haknya.” Ibrahim terhenyak.

Jadi, selama empat bulan ini, shalat, doa, dan mungkin semua amalan ibadahnya tidak diterima Allah SWT lantaran ia memakan sebutir kurma yang bukan haknya.
Karena resah, tanpa pikir panjang Ibrahim berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua itu untuk memintanya mengikhlaskan sebuah kurma yang telah dimakannya. Namun sayang, pedagang tua itu telah meninggal. Dia hanya menemukan seorang anak muda yang tidak lain adalah anak kandung pedagang itu. Ibrahim-pun menyampaikan maksudnya pada ahli waris pedagang tua tersebut.
Sang pemuda sepakat meng-halalkannya. Betapa bahagia hati Ibrahim. Namun, kebahagiaan itu ternyata belum sempurna. Masih ada 11 orang lagi anak pedagang tua itu –sebagai ahli waris- yang harus juga diminta keikhlasan mereka. Meski jauh dan memerlukan perjuangan keras untuk menemui kesebelas anak itu, akhirnya Ibrahim bisa bernafas lega karena semua telah sepakat untuk mengikhlaskan-nya.
Empat bulan kemudian, Ibrahim kembali ke Aqsa untuk shalat dan berdoa di sana. Tiba-tiba dia mendengar percakapan malaikat yang sama. “Itulah Ibrahim bin Adam yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain.”
“O…tidak, sekarang doanya sudah makbul lagi. Apa yang dia makan telah dihalalkan oleh ahli waris pemilik kurma.”
Kisah Ibrahim ini adalah pelajaran untuk kita semua, yang sering menganggap remeh benda milik orang lain yang telah kita ambil haknya secara tersembunyi maupun terang-terangan, sedikit maupun banyak, namun masih saja kita bisa tidur nyenyak.

Selasa, Agustus 19, 2008

TAK BERSALAH



Aku baru masuk kuliah saat bertemu dengan keluarga White. Mereka sangat berbeda dengan keluargaku, namun aku langsung merasa betah bersama mereka. Aku dan Jane White berteman di sekolah, dan keluarganya menyambutku – orang luar – seperti sepupu jauh.
Dalam keluargaku, jika ada masalah, menyalahkan orang itu selalu penting.
“Siapa yang melakukan ini?” ibuku membentak melihat dapur berantakan.
“Ini semua salahmu, Katherine,”
ayahku berkeras jika kucing berhasil keluar rumah atau mesin cuci piring rusak.
Sejak kami kecil, aku dan saudara-saudaraku saling mengadu.
Kami menyiapkan kursi untuk si Terdakwa di meja makan.
Tapi keluarga White tidak mencemaskan siapa berbuat apa. Mereka merapikan yang berantakan dan melanjutkan hidup mereka.
Indahnya hal ini kusadari penuh pada musim panas ketika Jane meninggal.
Keluarga White memiliki enam anak: tiga lelaki, tiga perempuan. Satu putranya meninggal saat masih kecil, mungkin karena itulah kelima yang tersisa menjadi dekat.

Di bulan Juli, aku dan tiga putrid White memutuskan berjalan-jalan naik mobil dari rumah mereka di Florida ke New York. Dua yang tertua, Sarah dan Jane, adalah mahasiswa, dan yang terkecil, Amy, baru menginjak enam belas tahun. Sebagai pemilik SIM baru yang bangga, Amy gembira ingin melatih keterampilan mengemudinya selama perjalanan itu.
Dengan tewanya yang lucu, ia memamerkan SIM-nya kepada siapa saja yang ditemuinya.
Kedua kakaknya ikut mengemudikan mobil baru Sarah pada bagian pertama perjalanan, tapi saat mereka tiba di daerah yang berpenduduk jarang, mereka membolehkan Amy mengemudi. Di suatu tempat di South Carolina, kami keluar dari jalan tol untuk makan, Amy mengemudi lagi. Ia tiba di perempatan denmgan tanda stop untuk mobil dari arah kami. Entah ia gugup atau tidak memperhatikan atau tidak melihat tandanya-tak ada yang tahu- Amy terus menerjang perempetan tanpa henti. Pengemudi trailer semi traktor besar itu tak mampu mengerem pada waktunya, dan menabrak kendaraan kami.
Jane langsung meninggal.

Aku selamat hanya dengan sedikit memar. Hal tersulit yang kulakukan adalah menelepon Keluarga White dan memberitakan kecelakaan itu dan bahwa Jane meninggal.
Sesakit apa pun perasaanku kehilangan seorang sahabat, aku tahu bahwa mereka jauh lebih pedih kehilangan anak.
Saat suami-istri White tiba di rumah sakit, mereka mendapatkan dua putrid mereka di sebuah kamar. Kepala Sarah dibalut perban; kaki Amy digips.
Mereka memeluk kami semua dan menitikkan air mata duka dan bahagia saat melihat putrid mereka. Mereka menghapus air mata kedua putrinya dan menggoda Amy hingga tertawa sementara ia belajar menggunakan kruknya.
Kepada kedua putrid mereka, dan terutama kepada Amy, berulang-ulang mereka berkata,
”Kami gembira kalian masih hidup.”
Aku tercengang. Tak ada tuduhan. Tak ada tudingan.
Kemudian aku menanyakan Keluarga White mengapa mereka tak pernah membicarakan fakta bahwa Amy yang mengemudi dan melanggar rambu-rambu lalu lintas.
Bu White berkata,
”Jane sudah tiada, dan kami sangat merindukannya. Tak ada yang dapat kami katakana atau perbuat yang dapat menghidupkannya kembali. Tapi hidup Amy masih panjang. Bagaimana ia bisa menjalani hidup yang nyaman dan bahagia jika ia merasa kami menyalahkannya atas kematian kakaknya?”

Mereka benar. Amy lulus kuliah dan menikah beberapa tahun yang lalu. Ia bekerja sebagai guru anak luar biasa. Putrinya sendiri sudah dua, yang tertua bernama Jane.
Aku belajar dari Keluarga White bahwa menyalahkan sebenarnya tidak penting.
Bahkan, kadang-kadang, tak ada gunanya sama sekali.

Rabu, Agustus 06, 2008

LUANGKAN WAKTU.....



Luangkan waktu untuk menghirup harum bunga-bunga
Selagi kau dapat berjalan di lorong kehidupan.
Luangkan waktu untuk mengendorkan ketegangan
Dari tantangan-tantangan dan pergulatan.

Luangkan waktu untuk mendengarkan burung-burung bernyanyi
Waktu mereka mempersilakan dinihari.
Meski hari baru saja muncul,
Tak lama ia akan menghilang lagi.

Luangkan waktu untuk mengamati matahari terbit,
Juga tenggelamnya meski hanya sesekali.
Asal tujuan yang kau cari
Bukan melulu kesenangan hati.

Luangkan waktu untuk menghitung karunia-karuniamu,
Meski kau rasa mereka tidak sehebat itu.
Mereka akan terlihat lebih melimpah
Daripada yang pernah kau perkirakan.

Luangkan waktu untuk membuang kebencian
Kapanpun dan di manapun kau bisa.
Musuhi saja kejahatan orang,
Tapi bukan manusianya.

Luangkan waktu untuk mencintai anak-anakmu
Setiap kali tak ada kesibukan.
Kebaikannya jauh melebihi
Sebuah ijazah perguruan tinggi.

Luangkan waktu untuk mencintai tetanggamu
Dan yang jauh lebih penting lagi,
Luangkan waktu untuk mencintai dirimu sendiri
Atau banyak orang tak akan mencintaimu.

Dan jika kau tak suka citramu
Di mata orang-orang lain,
Luangkan waktu untuk membuat perubahan;
Bangunlah citramu sebaik kau bisa.

Luangkan waktu untuk membantu orang lain
Yang kiramu tengah membutuhkan.
Kepuasannya akan kau rasakan
Membuatmu manusia besar.

Luangkan waktu untuk hidup dengan keutamaan
Dengan cara terbaik yang kau tahu
Dan hormati hak-hak orang lain
Sebagai setara dengan dirimu.

Luangkan waktu untuk menghargai
Kenyataan bahwa kau di sini
Dan mengenali Kekuasaan Lebih Tinggi
Mempercayainya tanpa takut padanya.

Jika semua ini rajin kau kerjakan
Akhirnya kau akan gembira.
Jika kau tidak berusaha mengerjakan
Kelak kau berharap sebaliknya.

Meski ini akan mengganggu waktumu
Dalam mengejar kekayaan,
Tak perlu dipertanyakan lagi
Bahwa hidupmu akan lebih sehat.

Den meski kau tidak amat kaya,
Atau mengendarai mobil amat halus,
Kau akan jauh lebih kaya
Dalam banyak hal yang berbeda.